Home | Tutorial


Rekam Jejak Notulen Code: Tak Semudah Itu - Part 1


"Attar, aku ingin ketemu Alia. Aku kangen sama dia. Besok aku mau ke sekolah Alia."
Aku membaca lagi SMS itu untuk kesekian kalinya. Menarik nafas berat, aku menyandarkan kepala di sofa.
"Papa, besok mama katanya mau ke sekolah. Asiik, Ia udah kangen banget sama mama. Horee, horee!" Alia memeluk leherku dengan erat dan tampak senang.
Ah, Lia, kenapa kamu harus muncul disaat seperti ini. Saat Alia sebenarnya sudah tidak mengharapkan kehadiranmu. Saat aku sudah hampir berhasil menjadi orang tua tunggal. Saat kamu sudah meninggalkan kami sejak lima tahun yang lalu. Apa yang kau cari, Lia?
"Pa, besok kita jalan-jalan ya sama mama. Ia udah kangen beraat banget sama mama!" Alia masih antusias dan menggemaskan.
Aku hanya bisa tersenyum simpul. Tak tega rasanya menolak keinginannya. Dan aku tidak akan pernah mau untuk mengecewakan Alia.
"Iya sayang. Ia mau kemana aja papa akan anter!"
Senyum lebar menghiasi wajah manisnya. Dia lalu mencium kedua pipiku dan pamit tidur.
Alia, diambil dari nama kami berdua, Attar dan Lia, buah hati pernikahan kami delapan tahun yang lalu. Sebelum Lia bertemu lagi dengan mantan kekasihnya tiga tahun kemudian dan memutuskan untuk meninggalkan kami berdua. Seminggu kemudian, dia mengirimkan surat cerai dari tempat barunya, memohon-mohon padaku untuk segera menandatanganinya. Aku menolak keras, karena pikiranku terpusat untuk Alia. Apa jadinya aku tanpa Lia, mengurus Alia sendirian dan membiarkan Alia tumbuh tanpa mamanya. Ibu macam apa kamu, Lia? Hampir dua bulan lamanya aku tidak menghiraukan surat cerai yang dikirim Lia. Pikiranku hanya terpusat untuk bekerja dan bekerja. Aku tidak mau mengingat apapun tentang surat cerai itu.
Hingga suatu hari Alia sakit dan mengigau. Memanggil-manggil papanya, bukan mama. Aku tertegun dan termenung. Besoknya, aku membuat keputusan besar, aku menandatangani surat cerai itu dan mengirimkannya kembali. Sejak itu, aku tidak pernah bertemu dengan Lia lagi, aku pun enggan bertemu dengannya. Aku memutuskan untuk membesarkan Alia sendirian. Dan tentu saja dibantu oleh ibu dan bapakku.
Ibu, wanita tegar yang hebat. Beliau tidak pernah terlihat letih dan kesal menghadapi Alia. Walaupun untuk anak seukuran Alia yang sedang cerewet-cerewetnya dan kadang menyebalkan. Kadang-kadang aku bisa kehilangan kesabaran menghadapi Alia. Tapi saat aku mau memarahi Alia, ibu menatap wajahku dan menggeleng. Lalu beliau membawa Alia dari hadapanku dan membiarkan aku sendirian untuk mengendalikan emosiku.
Dan sepengetahuanku, Ibu juga tidak pernah membicarakan keburukan Lia dimanapun. Di belakang atau di depanku. Beliau benar-benar menjaga perasaan aku dan Alia. Dan aku sungguh berterima kasih untuk hal ini. Padahal aku juga tahu, Ibu sama sakit hatinya denganku. Menantunya meninggalkan anak dan cucunya seperti ini. Orang tua mana yang tidak terluka.
Beberapa kali ibu pernah bertanya tentang rencanaku untuk menikah lagi.
"A, aa teh cakep, sholeh, mapan. InsyaALLAH banyak yang mau sama Aa. Apa mau ibu kenalin sama anaknya temen ibu?"
Aku menggeleng kecil. Tidak, bu. Aku belum siap terluka lagi. Luka kemaren masih terlalu dalam dan belum sembuh sama sekali. Lebih baik aku seperti ini saja, daripada nanti aku terluka lagi dan luka lama akan terbuka kembali.
Ibu tersenyum kecil. Menerima alasanku dan memakluminya. Walaupun aku tahu, ibu kecewa mendengar jawabanku. Tapi aku benar-benar belum siap untuk terjatuh lagi. Aku masih tertatih dan mencari pegangan untuk bisa berdiri dengan benar.
Bapak, ah bapak. Pria tegas yang lembut. Benar-benar panutanku dan role model yang sempurna untuk kutiru. Aku ingin seperti bapak. Memiliki keluarga yang utuh dan menyenangkan. Menjadi pemimpin di depan, penyemangat di tengah dan pendorong di belakang. Saat perceraian, bapak lah yang menguatkan dan mengingatkan, bahwa aku masih memiliki Alia dan keluarga.
"Duniamu belum berakhir, Attar. Masih ada bapak, ibu, Alia, Teh Nina, Neng Lika! Aa gak sendirian dan tidak akan pernah sendirian!"
Dan aku benar-benar merasa dikuatkan dengan ucapan Bapak. Semangatku untuk tetap menata masa depan kembali berkoar-koar. Bapak benar, duniaku tidak lantas berakhir dengan perceraian ini. Aku masih memiliki mereka yang dengan senang hati akan menggenggam tanganku untuk membantuku berdiri kembali.
Dan pertemuan Alia dengan mamanya besok, aku sudah meminta izin pada ibu dan bapak. Berharap beliau berdua tidak memberi izin dan melarangku dengan keras untuk bertemu dengan Lia.
"Attar Irham, biar bagaimanapun juga Lia itu ibu dari Alia. Kamu tidak boleh memutuskan tali silaturahim antara anak dan ibunya!" Bapak berkata tegas. Bila bapak sudah memanggil nama lengkapku, artinya beliau bukan meminta sesuatu dariku, tapi memerintahkan sesuatu untuk aku kerjakan.
"A, apapun yang terbaik untuk Aa dan Alia, ibu dukung. Terserah Aa, kalau Aa masih terluka untuk ketemu Lia, biar ibu aja yang menemani Ia untuk ketemu mamanya!" Ibu berkata bijaksana.
Yah, mereka malah memberi restu agar aku bertemu dengan Lia. Antara ragu-ragu, aku merasa ucapan Bapak sangat benar adanya. Sesakit hati apapun aku pada Lia, aku tidak berhak memutuskan silaturahim ibu-anak.

* *
Pukul 11:12 WIB. Aku memandang kelas Alia, parkiran dan jam di tanganku bergantian. Gugup dan cemas tampak bersemangat menemaniku melewati waktu yang terasa sangat lama. Ah, seperti apa Lia sekarang? Masihkah mempesona seperti saat aku pertama kali jatuh cinta padanya. Atau masihkah dia menarik seperti terakhir aku melihatnya dengan hati terluka tersayat sembilu.
Mobil melintas memasuki parkiran sekolah. Seseorang turun dari kursi pengemudi dan berjalan menuju tempat dudukku. Wanita cantik dan sangat menarik, mengenakan kacamata hitam dan tersenyum ke arahku. Lia.
"Aa!" sapanya hangat.
Aku mengangguk dingin dan tidak berminat membalas sapaannya.
Dia mengambil tempat duduk di sebelahku.
"Alia keluar setengah 12 yah?"
Aku hanya mengangguk.
Keheningan menyergap seketika.
"Aa apa kabar?" Lia memecah keheningan.
Ah, pertanyaan ini tidak bisa kujawab hanya dengan mengangguk atau menggeleng.
"Baik. Sangat baik sekali!"
"Sudah menemukan penggantiku?"
Aku menoleh cepat ke arahnya. Memandang tajam dan marah. Berani sekali dia bertanya seperti itu.
Dia menantang tatapanku, tanpa rasa takut dan bersalah. Senyum tipis menghiasi wajahnya.
Kalau saja Ibu dan Bapak tidak pernah mengajariku untuk menghargai wanita, mungkin aku sudah menampar pipi wanita cantik di hadapanku ini karena ucapannya yang lancang dan tidak sopan.
Bel tanda usai sekolah berbunyi. Kamu selamat, pikirku emosi.
"Mamaaaa!" Alia keluar dari ruangan kelasnya dan berlari menuju arah kami dengan bersemangat.
Lia berdiri dengan senyum lebar di wajahnya. Merentangkan tangan untuk bersiap menyambut Alia dalam pelukannya.
Aku? Sebisa mungkin mengatur emosiku.
Alia dan mamanya tampak bertukar cerita dengan antusias. Rasa kangen memancar kuat dari keduanya. Lia mendengarkan cerita anaknya dengan pandangan sayang. Aku hanya memandang mereka berdua, bingung dan sedikit terharu. Akhirnya Alia bertemu ibunya juga setelah lima tahun ini kehilangan sosok mamanya.
"Papa, ayoo paa, kata mama kita mau makan siang trus aku main sepuasnyaa!" Alia memecahkan kebingunganku.
Tanganku digenggamnya erat, tangan satunya lagi sudah menggenggam tangan Lia. Aku menoleh kaku ke arah Lia, dia hanya tersenyum manis. Wajah Alia tampak sangat bahagia bisa menggandeng kedua tangan orangtuanya disaat bersamaan.
* *
"Kamu hebat, A!" Lia berujar pelan.
"Attar. Panggil aku Attar!" aku menoleh ke arahnya.
Alia sedang asyik bermain di salah satu game center. Kami mengawasi dari kejauhan.
"Lima tahun aku menghilang, dan Alia tidak benci sama sekali padaku!" dia menyesap kopinya, entah mendengar ucapanku atau tidak.
"Aku tidak hebat! Tidak sama sekali!" aku berkata dingin.
"Lalu apa namanya kalau bukan hebat? Kamu sangat punya hak untuk membuat Alia membenci aku. Meninggalkan kalian berdua seenaknya. Kamu bisa menjelek-jelekkan aku di depan Alia! Kamu bisa mengatakan pada Alia bahwa ibunya adalah wanita brengsek dan tidak bermoral. Dan itu sangat benar!"
"Lalu apa untungnya? Apa untungnya buat aku menjelek-jelekkan kamu di depan Alia?"
Lia menatapku tidak percaya dan menggeleng.
"Menjelek-jelekkan kamu di depan Alia hanya akan membuat aku lebih buruk di matanya. Dan aku sama sekali tidak menyukai ide itu. Setelah kamu tinggalkan, yang terpikirkan olehku hanya satu, aku hanya ingin menjadi seorang ayah yang sempurna untuk Alia. Dan aku masih berusaha, Lia. Aku tidak mau merusak usahaku menjadi seorang ayah yang baik untuknya dengan menjelek-jelekkan ibunya! Tidak akan!"
Dia tertawa kecil, "Attar, kamu tidak berubah. Sama sekali tidak berubah. Kamu masih sama seperti pertama kali aku jatuh cinta padamu!"
Aku mendengus, "Don't start, Lia. It won't work. Just save your energy!"
Dia kembali tertawa. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang lucu.
"Kamu tidak penasaran dengan kabarku, A?" dia tersenyum manis padaku.
Wow, suprisingly, are you trying to flirt with me, Lia? Seriously? Dan kadang memanggilku Attar, kadang memanggilku A? Aku tidak akan terjebak Lia!
"Tidak, lebih baik aku tidak tahu apapun tentang kamu!" jawabku dingin.
"Aku tidak pernah menikah dengan Gilang. Sejak aku mengirimkan surat cerai itu, aku sudah tidak bersama Gilang. Aku tidak pernah mencintai Gilang seperti aku mencintaimu, A!" ujarnya tiba-tiba.
Aku tersedak. Oh, no, God, please, not this conversations, not this conversations.
"Saat bersama Gilang, aku sangat merasa bersalah pada kalian. Tapi aku tidak bisa begitu saja kembali tanpa dosa pada kalian. Aku memutuskan untuk mengirimkan surat cerai, A. Aku tidak mau menyakitimu lebih dalam!"
"Jangan diteruskan, Lia. Tolong!" aku menatapnya dalam dan dingin.
Matanya berkaca-kaca. Aku memalingkan pandanganku ke arah lain.
Kutatap Alia dari kejauhan, dia masih asyik bermain dengan teman-teman yang baru dikenalnya. Ah, sifat supelnya menurun dari mamanya.
"Sampai hari ini, A, aku masih mencintaimu!" bisiknya lembut.
Aku tertegun, berusaha mengatur degup jantungku yang mulai tidak karuan.
"Apa? Kamu kira setelah menghilang selama lima tahun kamu bisa tiba-tiba hadir dalam kehidupan kami berdua, menemui Alia dan memintaku untuk mencoba mencintaimu lagi? Kamu gila!" aku berkata sinis.
"Kamu tidak mengerti sakitnya aku menghabiskan lima tahun ini dalam perasaan bersalah dan terluka, Tar. Apa kamu tahu gimana sakitnya aku memikirkan telah menyakiti kalian berdua? Terkurung perasaan bersalah, aku tidak punya hati untuk menemui kalian. Hingga sebulan kemaren, aku memutuskan untuk mengirimmu pesan. Aku ingin menebus dosaku selama ini! Aku ingin mencoba memulai lagi dari awal!" pintanya. Wajahnya begitu sedih dan dalam.
"You know what? Man never forget and it's too late!"
Aku berdiri dan berjalan menghampiri Alia, mengajaknya untuk pulang.
"Pamit sama mama dulu, sayang!" aku menggandeng tangan Alia menuju meja yang tadi kutempati.
"Mama gak ikut pulang sama kita, Pa?" Alia tiba-tiba berkata sedih.
Sedikit terkejut, aku berusaha mengatur nada suaraku.
"Gak bisa sayang, mama masih ada kerjaan. Jadi gak bisa ikut sama kita!"
"Kalau besok?" Alia memandang aku dan Lia bergantian.
Lia dan anaknya (Alia, anakku juga, FYI) menatapku penuh harap.
"Mama lagi banyak kerjaan, besok mama harus keluar kota sampai minggu depan!" aku berkata datar.
Gurat kekecewaan tampak di mata ibu-anak itu. Ah, mereka terlalu mirip satu sama lain.
"Ya udah kalo gitu!" Alia merengut sedih, lalu menatap Lia, "Mama telepon Ia yaa besok pulang sekolah. Nanti Ia ceritain kelinci lucu yang dipelihara bareng temen-temen Ia!"
Lia tersenyum bahagia, mengusap rambut Alia dengan sayang dan menariknya dalam pelukan, "Iya sayang, nanti mama telepon. Sekarang Ia pulang sama papa, mandi trus tidur. Cape kan abis main!"
Alia mengangguk semangat. Lia mengecup kening putriku dengan penuh cinta dan melepaskan kami berdua untuk pulang.
Aku dan Alia pulang dengan pikiran masing-masing. Pikiran Alia yang begitu bahagia bisa bertemu dengan mamanya. Dan pikiranku yang kusut mendengar pengakuan Lia.


diposkan di ngerumpi.com 2 Maret 2012

Artikel yang berhubungan



Posted by : Nadia Putri Karisya at Thursday, January 24, 2013
Categories: : , ,

 

0 comment(s):

Post a Comment

 
 


Rekam Jejak Notulen Code

gajah mati meninggalkan gadingnya, programmer mati meninggalkan codenya

Designed by © indrockz