Home | Tutorial


Rekam Jejak Notulen Code: Tak Semudah Itu - Part 2


"Alia seneng, Tar, ketemu sama mamanya?" tanya bapak saat aku menjemput Alia dari rumah bapak dan ibu.
Aku menatap Bapak dan mengangguk. Sejak pertemuan aku, Alia dan mamanya (aku masih belum sanggup menyebut namanya lagi), aku belum sempat lagi ke rumah ibu. Tiga hari kemarin aku mengambil cuti untuk menemani Alia di rumah. Hari ini aku sudah mulai masuk kerja dan menitipkan Alia lagi di rumah ibu dan bapak.
"Kamu?" tanya Bapak lagi.
Aku mengerutkan alis. Bapak bukan tipe orang yang selalu ingin tahu sesuatu. Beliau bukan tipe bapak-bapak rempong yang bertanya macam-macam. Pasti ada alasan beliau bertanya seperti ini.
"Yaa begitulah, pak!" aku berusaha menjawab santai dan ringan.
Bapak menatapku lama. Beliau tahu ada sesuatu yang janggal, tapi seperti yang aku bilang, beliau bukan tipe bapak rempong. Beliau memutuskan untuk diam saja.
"Alia di dalam pak?" aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
Bapak mengangguk. Aku lalu berjalan masuk.
Saat aku di pintu, bapak berujar pelan, "Apapun yang ada di pikiranmu, keluarga akan selalu mendukung!"
Aku terhenti sejenak dan melanjutkan langkahku dengan perasaan campur aduk.
"Bu!" aku menyalami tangan wanita luar biasa di depanku.
Ibu tersenyum dan mencium pipiku.
"Iaaa, ini papa udah dateng!" Ibu memanggil cucunya yang masih asyik bermain.
Bapak yang tadi duduk-duduk di depan ikut bergabung bersama aku dan Ibu di ruang tengah.
Aku mengatur degup jantungku yang masih terguncang mendengar perkataan bapak di pintu tadi. Semoga bapak tidak memulai pembicaraan apapun tentang Lia. Aku belum siap sekarang.
"Gimana kabar Lia, A?" ibu memulai percakapan.
Ibuuuu, jangan ngomongin Lia dulu. Aku belum siaaap. Aku menjerit-jerit dalam hati.
"Baik bu. Sehat!" jawabku dag dig dug.
"Tadi Alia cerita dengan antusias." Ibu tersenyum, "Seneng banget yaa kayaknya dia ketemu sama Lia!"
Aku menarik nafas. Entah kekuatan darimana, aku menceritakan pembicaraanku dengan Lia pada kedua orang tuaku. Semuanya, detail-detailnya. Termasuk perasaanku yang campur aduk saat ini.
Ibu dan bapak mendengarkan dengan seksama dan tidak sedikitpun tampak terkejut atau kaget.
"Attar gak tau harus gimana pak, bu! Attar bingung!"
Ah, kalau lagi bingung dan manja, aku selalu menggunakan nama untuk menyebut diriku.
"Aa masih sayang sama Lia?" tanya ibu lembut.
Aku menggeleng lemah, "Attar gak tau bu. Attar bener-bener bingung! Attar gak tau harus gimana!"
Ibu lalu menatap Bapak dan tampak berkode satu sama lain. Aku mengerutkan kening, tidak mengerti.
Bapak mengangguk-angguk ke arah ibu, "Ceritakan saja, Bu! Sekarang saat yang tepat!"
Aku semakin tidak mengerti.
Ibu lalu memandang ke arahku dan mulai bercerita.
Ternyata, lima tahun lalu, saat Lia memutuskan meninggalkan aku dan Alia serta mengirimkan surat cerai, dia sempat menemui bapak dan ibu. Bersujud di kaki keduanya, memohon maaf sudah melakukan hal bodoh yang sangat menyakitkan. Dan Lia juga meminta ibu dan bapak untuk membujuk aku menanda tangani surat cerai, karena Lia merasa dia tidak pantas menjadi pendampingku lagi. Lia juga berjanji pada ibu dan bapak untuk tidak pernah melakukan hal ini lagi. Dan dia menepati janjinya.
Lia juga menceritakan alasan kaburnya yang sangat bodoh, dan amat sangat menyesal telah melakukannya. Lia kabur karena dia merasa aku terlalu sempurna untuknya.
What? You kidding me, Lia! Kamu yang menyempurnakan aku!
Dan dia ternyata tidak kabur dengan Gilang. Lia pergi sendiri lalu Gilang datang menjemputnya, tapi ditolaknya mentah-mentah, karena Lia merasa dia masih menjadi istriku. Dia tidak pernah mengkhianatiku.
Dan yang lebih mengejutkan, ibu dan bapak ternyata selama lima tahun ini berhubungan dengan Lia. Beliau berdua bertukar kabar dengan Lia dan bahkan yang menyarankan Lia untuk mengirim pesan kepadaku. Karena beliau merasa aku sudah siap untuk menerima kehadiran Lia kembali, setidaknya bertemu. Tapi mereka tidak mengizinkan Lia untuk bertemu dahulu dengan Alia, tanpa seizinku. Maka dari itu mereka menyuruh Lia untuk mengirim pesan singkat.
Pantas, pantas saja mereka tidak pernah menjelek-jelekkan Lia dan tidak pernah membiarkan aku untuk menjelek-jelekkannya. Mereka tahu cerita yang sebenarnya dan menjaga amanah dari Lia yang meminta agar aku tidak mengetahui yang sebenarnya.
Aku tertegun. Kaget dan sangat terkejut. Aku mengusap wajahku perlahan. Terlalu bingung untuk bereaksi. Apakah aku akan marah? Tidak bisa, tidak kepada mereka yang kuhormati di hadapanku ini. Aku tidak boleh marah kepada mereka berdua.
"Aa marah sama bapak dan ibu?" tanya ibu lembut.
Aku menggeleng lemah.
"Attar cuman bingung bu!"
Tanpa berbicara lebih lanjut, aku segera membawa Alia, pamitan pada bapak dan ibu, lalu pulang ke rumah.
Aku mendadak galau, jadi aku akan segera showeran begitu sampai di rumah.

* *
"Paaa, ada mama di depan!" Alia berkata polos dan berbinar.
Hah? Lia? Mau apa dia kemari. Aku beranjak dari sofa, berkaca sebentar merapihkan rambutku. Wait, ngapain pake ngerapihin rambut segala, aku mengutuk dalam hati. Dengan kebingungan menyelimuti, aku mengacak-acak lagi rambutku. Lia tidak pantas mendapatkan aku yang berambut rapi, ujarku dalam hati, sombong dan bingung.
"Baru bangun tidur?" Lia menatapku heran.
"Hmm, engga. Emang tampang aku gini!" jawabku seenaknya.
Lia tertawa, cantik sekali.
Tunggu, barusan aku bilang apa? Cantik sekali? Aaah, konsentrasi Attar, konsentrasi.
"Aku mau ngajak Alia makan diluar. Mau ikut?" tawar Lia. Tanpa meminta ijinku, dia duduk di sofa ruang tamu rumah kami. Ah, maksudku rumah kami lima tahun yang lalu. Sekarang ini rumahku.
"Aku tidak mengijinkanmu membawa Alia!" ujarku dingin.
Yeah, konsentrasiku telah kembali.
Lia menatapku dengan pandangan aneh, "Aku tidak akan menculiknya, Tar!"
Aku tergugu. Tentu saja dia tidak akan menculiknya, tapi aku tetap menjaga wibawaku.
"Just don't. Aku sudah mendengar semuanya dari ibu! Dan itu tidak membuat keadaan lebih baik, Lia!"
Lia tertegun, menatapku dan menarik nafas dalam.
"Tidak bisa kah?"
Aku berbalik badan, menarik nafas tidak kalah dalam.
"Tidak saat ini! Aku masih terluka! Dan aku tidak siap menerima pisau yang sama dalam kehidupanku. Terlalu sakit, Lia. Aku terlalu jauh berpikir. Aku membayangkan kita akan bersama lagi dan aku membayangkan kamu akan meninggalkan aku lagi! Aku tidak siap dan tidak mau untuk siap!"
Lia menutup wajahnya dan samar kudengar isakan kecil.
"Aku tidak mau memutuskan silaturahim antara kamu dan Alia. Kamu masih bisa menemuinya, dirumah ibu. Bukan disini! Dan jangan pernah datang kesini untuk bertemu Alia. Kalau kamu kangen Alia, telepon ibu, biar ibu yang menghubungi aku, bukan kamu. Aku akan mengantar Alia ke rumah ibu, temui dia disana!" aku mengatur nada bicaraku. Sesak rasanya, tampaknya oksigen disekitarku mendadak habis.
"Menemuimu?"
"Sebaiknya jangan. You deserve someone better and I don't think it's me!"
Lalu suasana hening menyergap.
"Maaf, Tar. Aku minta maaf!" Lia berkata lirih, "Kesalahan terbodoh dan sangat fatal yang pernah aku buat dalam hidupku!"
Aku tidak mau menanggapi. Aku merasa ada kupu-kupu di dalam perutku.
"Alia, sayaang, udah siap? Mama udah nungguin tuh!" aku memanggil Alia untuk menetralkan gejolak perasaanku.
Alia keluar dari kamarnya dan tersenyum riang. Cantik sekali seperti mamanya.
"Papa gak ikut?"
Dia memanyunkan bibirnya saat aku menggeleng.
"Papa masih ada kerjaan. Senang-senang sama mama ya!" aku mengecup lembut keningnya.
Alia tersenyum senang. Memelukku dengan riang dan menyalami tanganku.
"Selamat bersenang-senang, cantik!"
Tatapan mataku tanpa sengaja bertubrukan dengan Lia. Dia menatapku dengan pandangan yang sulit kuartikan, aku buru-buru mengalihkan pandanganku ke arah lain.
Maaf, Lia. Aku benar-benar belum bisa menerima apapun saat ini. Memaafkanmu? Sudah kulakukan bertahun-tahun yang lalu, aku hanya belum bisa melepaskan perasaan takut terlukai lagi.
"Aku akan mencoba lagi dari awal, Tar!" ujar Lia sesaat sebelum keluar dari pintu.


diposkan di ngerumpi.com 2 Maret 2012

Artikel yang berhubungan



Posted by : Nadia Putri Karisya at Saturday, January 26, 2013
Categories: : , ,

 

0 comment(s):

Post a Comment

 
 


Rekam Jejak Notulen Code

gajah mati meninggalkan gadingnya, programmer mati meninggalkan codenya

Designed by © indrockz